Jumat, 04 November 2011

ABP1 KERICIL KECIL YANG MENGUBAH ALIRAN AIR


AKU BUKAN PANGERAN

Tulisan ini merupakan karya ke dua saya setelah Kisah Cinta sang Rumput dimana Idris yang merupakan tokoh sentral dalam tulisan kisah ini adalah Sang Pangeran dalam Kisah Cinta Sang Rumput.

Selamat membaca.

KERICIL KECIL YANG MENGUBAH ALIRAN AIR

Ufuk timur terlihat mulai kemerahan, ia seakan malu pada sang mentari yang kini perlahan menghampiri garis horizon. Hawa disekitar terasa sejuk, terpaan mesra sang bayu membuat seorang gembala semakin betah bermalas-malasan di bawah pohon jambu mente yang kini tengah berbunga. Sesekali ia mencabuti rumput disekitarnya untuk ia selipkan ke giginya. 

Sang gembala tersebut bernama Idris, rambutnya ikal agak panjang tapi tidak pernah lebih panjang dari rambut ibunya, alisnya melengkung tajam, hidungnya tidak mancung namun juga tidak pesek. Meski pun terlihat agak berantakan tapi pesona ketampanannya tak dapat diingakari olah gadis-gadis yang beruntung melihat wajahnya.

Dari gaya rambutnya yang agak berantakan, dapat ditebak bahwa ia adalah orang yang agak cuek, tak ada hal lain yang ia pikirkan selain sapi-sapinya. Banyak gadis yang menaruh perhatian padanya, tapi tak satu pun yang menurutnya memenuhi kriteria yang telah di jelaskan oleh orang tuanya.

Cantik, kaya, dan soleha, itulah kriteria gadis ideal yang pernah ia dengar dari wejangan ayahnya, tapi ia tidak peduli dengan kriteria yang kedua, yang penting baginya adalah kecantikan yang dapat meneduhkan pandangan, dan kesolehan yang dapat mendamaikan jiwa.

Kesunyian dan kesendirian adalah sesuatu hal yang ia sukai, meski pun begitu  ia senang berteman dengan seorang pembual, karena dengan begitu ia cukup menjadi pendengar yang baik saja dan tak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk berbicara.

“permisi cowok” terdengar suara seorang gadis yang mengusik perisitrahatannya.

Perlahan ia berpaling ke sumber suara tersebut sambil bangkit dari sandarannya. Ia tidak serata merta menjawab sapaan gadis tersebut. Dengan tatapannya yang tajam dan jeli ia mulai mengamati gadis yang lancang menggangu peristirahatannya. “nih cewe apa kuntilanak” pikirnya. Dilihatnya kea arah bawah, ternyata kaki gadis tersebut masih menyentuh tanah.

Gadis itu manis dan terlihat agak tomboy, rambutnya pendek untuk ukuran seorang wanita. Dengan rok mini yang menantang membuat Idris kurang nyaman memandangnya  dan segera berpaling. Wajarlah Idris kurang nyaman, karena baru kali ini ia melihat seorang gadis yang memakai rok mini.

“ia cewek ada apa, kamu mau menggodaku yah” jawabnya sok pede, dengan logat kampungnya yang khas.

Gadis itu tersenyum geli mendengar jawaban Idris yang sok pede “begini bro, aku tersesat dan tidak tau jalan pulang” balas sang Gadis yang memakai rok mini biru dipadu dengan baju berwarna merah.

“maaf cewe, namaku bukan bro, kamu pasti salah orang” timpal Idris yang tak terima dipanggil bro.

Gadis itu semakin geli mendengar jawaban Idris, ia berusaha menahan tawan agar tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya “lantas namamu siapa?” tanyanya kembali.

“namaku Idris” jawabnya singkat.

Sang gadis yang sudah tau kalau mahluk yang dihadapinya adalah mahluk kampungan, maka tanpa menunggu diminta lagi ia memperkenalkan dirinya sendiri “kalau namaku Zahara, kebetulan aku tersesat di sini, dan kebeneran kamu ada di sini, mau bantu aku gak”

Sebenarnya sih Idris merasa agak gugup berhadapan dengan Zahara, karena baru kali ini ia berbincang berdua dengan gadis seusianya, tapi untuk menutupi karakternya yang agak pemalu ia memberanikan diri sok pede di depan gadis tersebut, tanpa ia sadari usahnya tersebut malah membuatnya terlihat  kampungan.

“maksudmu mau diantar pulang?” Tanya Idris memastikan.

“iya, kamu mau yah bantuin aku” rengek Zahara mencoba sok akrab. Tingkahnya tersebut malah membuat Idris mengeluarkan keringat dingin.

“membantu seorang gadis itu memang sudah tugasku” jawab Idris sambil menyeka keringat di dahinya. Celakanya tanpa di duga Zahara yang melihat kejadian tersebut malah mengeluarkan sapu tangan dari kantungnya, dan membantu menyeka keringat Idris  yang membuat Idris semakin salah tingkah. Peristiwa yang amat langka dan lucu, saat seorang gadis kota yang polos bertemu dengan pria kampungan yang kolot.

“terima kasih” kata Idris yang mecoba terlihat gentle dan pede di depan Zahara, namun keringat dinginnya yang semakin deras membuktikan rasa gugup yang amat dalam. “memangnya kamu tinggal di mana” katanya lagi.

“aku tingaal di desa Corawali dekat sekolah” jawab Zahara.

“baguslah, kita tinggal di desa yang sama, rumahku kira-kira 300 meter dari rumahmu. Kebetulan nih sudah sore, yuk kita pulang” ajak Idris

Mereka pun meninggalkan pohon jambu mente itu sendirian, Idris berjalan terlalu cepat sehingga membuat Zahara sulit mengimbangi jalannya. “yang pelan dong jalannya! Kok cepet banget, sengaja mau ninggalin aku yah?’ protes Zahara.

“bukan aku yang cepet, tapi kamu yang lelet’ timpal Idris mencoba membela diri. Zahara berlari kecil agar tidak ketinggalan, wajahnya sedikit cemberut karena acting manjanya tidak mendapat respon yang terlalu baik.

Idris kelihatannya dapat menangkap sekilas wajah cemberut Zahara, untuk membangun komunikasi yang lebih harmonis ia bertanya basa-basi: “gimana ceritanya kamu sampai bisa tersesat di kebunku”

Wajah cemberut Zahara tiba-tiba terganti dengan wajah gadis manis setelah mendengar pertanyaan tersebut. “tadi kan, aku sama bapak pergi ziarah kubur. Pada saat itu aku melihat kupu-kupu yang cantiiik sekali, aku kejar kupu-kupu itu dan tanpa kusadari aku sudah tersesat, untungnya aku bertemu dengan pria gondrong yang berantakan” katanya sambil tersenyum karena telah menyindir si Idris.

“ohh” timpal Idris singkat tanpa berusaha membalas ejekan Zahara.

“kok ohh saja?”

“mang harusnya apa?”

“kamu gak marah saya panggil pria gondrong berantakan”

“buat apa marah? Kenyataannya memang begitu kok” jawab Idris yang kini bersikap sok cuek, gaya kampungannya karena sok pede kini telah menghilang. Karakter Idris memang susah ditebak, kadang ia sangat ramah namun kadang pula sangat cuek, hal ini lah membuat gadis-gadis sulit memahaminya.

Zahara merasa jengkel karena tidak  berhasil menggoda si Idris, dalam hati ia membatin “nih orang kaya bunglon aja, tadi awal bertemu ia berlagak sok pd dan ramah, eh sekarang malah sok cuek seakan aku ini tak ada”.

“kita kan baru pertama kali bertemu, kamu kok gak nanya-nanya ma aku sih” Tanya Zahara

Dengan amat polos Idris bertanya balik “mang mau nanya apa?”

Zahara semakin merasa jengkel, “kok ada sih mahluk bloon seperti ini” pikirnya. Dengan berusaha tidak memperlihatkan kejengkelannya. Zahara menjawab “nanya apa aja, yah seperti yang dipertanyakan cowo kepada cewe”

Idris belum mampu menangkap arah pembicaraan Zahara, dengan santai ia bertanya “kamu kok makai rok aneh seperti itu? Mang gak takut masuk angin?”

Baru kali ini ada orang yang mempertanyakan hal seperti itu kepada Zahara. “apanya yang aneh?” Tanya Zahara, yang tidak setuju pakaiannya dianggap aneh.

“yah aneh saja, soalnya baru pertama kali aku melihat pakaian seperti yang kau kenakan” jawab Idris dengan ekspresi dingin.

Zahara baru sadar bahwa di kampung ini, tak ada seorang pun gadis yang memakai rok mini selain dirinya, jadi wajar saja jika si idris menganggap pakaiannya aneh. “sebenarnya sih aku juga merasa kurang nyaman memakai rok mini seperti ini, tapi ini semua aku lakukan karena permintaan ibu” jawabnya.

Karena asyik berbincang di jalan, jauhnya perjalanan pulang tidak begitu mereka rasakan. “rumahmu yang sebelah mana sih” Tanya Idris.

“tuh yang berwarna biru” jawab Zahara sambil mengarahkan telunjuknya ke rumah yang terlihat paling mencolok dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya.

Sesampainya di rumah berwarna biru tersebut mereka dihadang oleh laki-laki yang kira-kira berumur enam puluh tahun. Badan yang tegap dengan kumis yang tertata rapi membuat laki-laki setengah baya tersebut kelihatan berwibawa. “kamu darimana aja nak, Ayah bahkan telah mengutus orang untuk mencarimu” kata laki-laki itu pada Zahara.

Zahara mendekat mengulurkan tanganya utuk menggapai tangan ayahnya kemudian menciumnya tanpa berkata apa pun. “eh kok malah cium tangan? Pertanyaanku belum dijawab loh” selidik ayah Zahara.

“maaf ayah, telah membuatmu cemas, tadi Zahara tersesat tapi untung saja Zahara ketemu dengan Idris, dan dia berbaik hati bersedia  mengantarku pulang” kata Zahara sambil melirik ke arah Idris. Idris hanya tersenyum lugu mencoba menampilkan sisi terbaiknya saat ayah Zahara berusaha mengidentifikasi dirinya.

“kalau gitu, ajak dong sang penolongnya masuk” kata Ayah Zahara dengan maksud menggoda anaknya.

Tibalah Idris diruang tamu, matanya liar memandang lukisan-lukisan yang terpajang indah di tembok, kadang ia menggaruk kepala meski pun tidak gatal, ia merasa sedikit kikuk berada di tempat yang terasa asing baginya. Sesekali ia melihat keluar, berharap rasa canggungnya karena bersama ayah Zahara segera berakhir. Sementara itu Zahara meninggalkan mereka berdua menuju dapur untuk membuat minuman.

“kamu tinggal dimana anak muda’ terdengar suara Ayah Zahara memecah kesunyian.

“aku tinggalnya di dekat mesjid Nurul Yaqin kira-kira 300 meter dari sini paman, oia kalau boleh tau, nama paman siapa”

“hahahaha” tawa Ayah Zahara keras mengelegar sungguh tidak menyehatkan telinga. “namaku Abdul Qahhar, orang-orang memanggilku pak Kahar” sambil merapikan kumisnya ia berakata lagi “baru kali ini Zahara membawa seorang pria ke rumah”

“saya cuman mengantarnya kok”

“kalau begitu baru kali ini Zahara diantar oleh seorang pemuda, hahaha” tawanya lagi. Idris tak habis pikir, anak sama ayah sama-sama suka menggoda, ia hanya cuman bisa ikut cengengesan aja mendengar tawa pak kahar yang tidak menyehatkan itu.

“sejak kapan paman tinggal di sini, kok gak pernah saya lihat” Idris mencoba mengalihkan pembicaraan.

“baru dua hari anak muda”

‘apa yang membuat paman yang tinggal di kota indah nan megah penuh dengan gedung-gedung pencakar langit hijrah ke kampung yang sunyi ini”

“ada banyak hal, ada banyak hal yang membuatku tidak betah tinggal di kota. Setiap hari di sana kami harus menghisap polusi. Kehidupan kota yang glamour dan pergaulan bebas di sana, aku takutkan meracuni pikiran anakku yang lugu dan polos. Lagi pula umurku sudah mencapai 61 tahun, rambut putih yang menghiasi kepalaku adalah pesan yang dikirimkan sang pencipta bahwa masa baktiku di dunia ini tidak lama lagi. Seperti orang pada umumnya, aku juga ingin di kubur di tanah kelahiranku.” Ujar Kahar panjang lebar.

Tak lama kemudian, muncullah Zahara dari bilik dapur, ia seaakan hujan yang telah lama dinanti kedatangannya. Ditatanya gelas-gelas yang berisi teh di meja, dengan senyum yang mengembang ia mempersilahkan sang penunjuk jalannya untuk menikmati teh dan kue yang telah ia  sajikan.

Dengan sedikit malu-malu Idris menikmati apa yang telah disajikan si gadis tomboy. Zahara terus saja memperhatikan gerak-geriknya, hal itu membuatnya merasa agak risih. “makan lagi kak! Masih banyak kok” suruh Zahara. Idris hanya menganggukkan kepalanya.

Mentari hampir saja menghilang, sebelum maghrib menjelang Idris mohon pamit kepada pemilik rumah untuk segera pulang. “jangan sunkan datang kesini yah anak muda” kata pak Kahar “makasih yah kak, udah ngantarin Zahara pulang” tambah Zahara dengan senyuman manisnya.


Bersambung…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar